Baikkah
demokrasi itu? "Tidak," kata Plato dan Aristoteles. Kedua bapak
teoretikus demokrasi yang hidup sekitar 2.500 tahun lalu (abad kelima sebelum
masehi) itu tidak mendukung demokrasi sebagai sistem politik dalam kehidupan
bernegara. Alasannya,
demokrasi itu menyesatkan karena menyerahkan kepada rakyat untuk menentukan
pilihan haluan negara, padahal pada umumnya rakyat itu tidak tahu apa-apa alias
awam. Penyerahan pilihan itu menyesatkan karena pilihan rakyat dapat bersifat
buta, tiba-tiba atau transaksional, tergantung pada siapa yang mau membayar.
Aristoteles
mengingatkan bahwa di dalam demokrasi itu banyak demagog, yakni agitator yang
pandai menipu rakyat dengan pidato-pidato dan janjijanji bohong. Para demagog
ini biasanya menebar janji untuk membangun kemakmuran rakyat, menggratiskan
pendidikan, menjamin pengobatan dan segala hal yang dibutuhkan rakyat asal dipilih
dalam pemilihan. Namun setelah terpilih, mereka tak berbuat apa-apa, malahan
mengkhianati rakyat. Tampaknya
apa yang dikhawatirkan Plato dan Aristoteles, filosof Yunani Kuno yang sangat
kondang itu, dikonfirmasi oleh demokrasi kita di Indonesia. Pada pemilu yang
berlangsung 2009 ini kita dapat menengarai munculnya banyak demagog yang tampil
untuk bertarung sebagai calon anggota lembaga legislatif (caleg). Mereka
mengumbar janji, padahal ketika menduduki jabatan penting setelah terpilih pada
pemilu sebelumnya ternyata tak memperbaiki apa pun.
Ada
juga pemain-pemain politik baru yang meneriakkan banyak hal, padahal mereka tak
tahu problem dan cara mengatasinya, bahkan banyak yang mengelabui rakyat dengan
money politics. Dalam pesta demokrasi tahun ini banyak juga muncul
orang-orang narsis, pengagum diri sendiri. Mereka memasang poster atau gambar
diri dengan berbagai gaya yang kemudian dipuji-puji sendiri sebagai calon wakil
rakyat yang amanah dan fathonah. Poster
atau gambar diri itu kemudian dilihat sendiri bersama keluarganya dan disenyumi
sendiri setiap hari, padahal hampir tak ada orang yang memedulikan. Demokrasi
kita juga melahirkan situasi homo homini lupus, saling memangsa di
antara sesama caleg. Akibat penentuan anggota legislatif dengan suara terbanyak
sekarang ini, banyak caleg satu partai memfitnah atau membunuh karakter caleg
separtainya, tentu dengan tujuan agar rakyat memilih dirinya.
Ketika
dulu penentuan anggota legislatif dilakukan dengan sistem nomor urut, banyak
caleg bertengger di nomor peci (nomor jadi) karena nepotisme dan kolusi, bahkan
kuat ditengarai, seperti diberitakan media massa,banyak caleg yang membayar
ratusan juta sampai miliaran rupiah untuk mendapat nomor urut jadi. Seperti
itulah fenomena demagog dalam demokrasi. Alhasil,
demokrasi itu memang bukan pilihan ideal karena sering membiarkan rakyat dan
negara dikangkangi dan disandera oleh para demagog.
Meskipun
begitu, dalam praktik politik, demokrasi itu dipilih sebagai sistem politik
oleh lebih dari dua pertiga negara yang ada di dunia. Alasannya,demokrasi
"terpaksa" dipilih karena ia merupakan yang paling sedikit jeleknya
di antara sistem-sistem lain yang sama-sama jelek.
Demokrasi
merupakan "pilihan jelek yang terbaik" di antara pilihan-pilihan lain
yang juga tidak baik seperti monarki absolut, autokrasi, aristokrasi, oligarki,
okhlokrasi, dan terutama tirani. Demokrasi dianggap yang terbaik dari sistem
lain yang juga jelek karena ia menghargai hak-hak dan pilihan- pilihan rakyat
meskipun dengan segala kekurangan atau kebodohannya. Berkah
atau mudarat yang timbul karena demokrasi merupakan tanggung jawab rakyat
secara bersama-sama sebagai pemikul hak dan kewajiban dalam hidup bernegara.
Oleh sebab itu, apa pun hasilnya, marilah kita terima hasil Pemilu 2009 sebagai
keputusan rakyat yang telah memilih sistem demokrasi. Adapun
pelanggaran-pelanggaran dan efek watak demagog yang timbul dalam pemilu sebagai
sisi buruk dari demokrasi dapat diselesaikan melalui nomokrasi (kedaulatan
hukum). Konstitusi
kita memang menganut prinsip demokrasi (kedaulatan rakyat) sekaligus nomokrasi
(kedaulatan hukum) seperti diatur di dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD
1945. Demokrasi merupakan penyerahan kepada rakyat untuk mengambil
keputusan-keputusan politik dalam hidup bernegara, sedangkan nomokrasi
merupakan penyerahan kepada hukum untuk menyelesaikan berbagai pencederaan
terhadap demokrasi dan hak-hak rakyat. Demokrasi dan nomokrasi haruslah
diterima sebagai dua sisi dari sekeping mata uang. (Disajikan dalam Seminar Prof. Dr. Mahfud, MD)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar